Langsung ke konten utama

Eksistensialime Sartre Sebagai Langkah Pencegahan Bullying Terhadap Peserta Didik


 

INTRODUCTION

Penelitian ini bertujuan untuk membahas tentang eksistensialisme Sartre dalam mencegah bullying di kalangan pelajar. eksistensialisme Sartre menekankan pada manusia sebagai pusat dari segalanya yang memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya. Pemikirannya tentang eksistensi terdapat dalam karyanya yang berjudul Being and Nothingness (ada dan ketiadaan). Manusia dibedakan dengan benda-benda mati ataupun hewan dan tumbuhan yang tidak dapat memberikan alasan mengenai keberadaannya. Sartre manganggap bahwa yang dapat bereksistensi hanyalah manusia, sedangkan hewan dan benda mati lainnya berada.

Penelitian sebelumnya yang membahas mengenai eksistensialisme sudah banyak. Sejauh karya-karya tentang pemikiran Jean Paul Sartre yang dapat dilacak, belum ditemukan karya yang secara serius membahas mengenai pemikirannya tentang relasi antar manusia. Misalkan skripsi yang dibuat oleh Dianna Mella Yusafina yang berjudul Eksistensialisme Jean Paul Sartre dan Relevansinya dengan Moral Manusia dari Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang. Dalam karya tersebut membahas relevansi eksistensialisme Sartre dengan ajaran moral dalam agama Islam.[1]

Skripsi berjudul Filsafat Etika Politik Eksistensialisme Sartrean yang ditulis oleh Purwadi Novada tahun 2018 di Universitas Brawijaya membahas mengenai etika politik dari sartre. Penulis mencoba menganalisi permasalahan politik etis dalam salah satu karya Sartre yang berjudul Notebook for an Ethic. Permasalahan tersebut dicari jalan keluarnya untuk permasalahan-permasalahan politik di era kontemporer.

Selain itu, karya lain dari Muzairi berjudul Eksistensialisme Jean Paul Sartre (Sumur Tanpa Batas Kebebasan Manusia) yang sudah dibukukan. Beliau mengkritisi tentang kebebasan mutlak yang dibawa oleh Sartre dan mengungkapkan permasalahan ontologi kesadaran manusia bereksistensi di dunia. Karya lain yang membahas mengenai Sartre yaitu dari Setyo Wibowo dan Majalah Driyarkara yang berjudul Filsafat Eksisitensialisme Jean Paul Sartre. Buku tersebut menjelaskan mulai dari kisah hidup Sartre, Relasi antar manusia, dan gagasannya menolak Tuhan.[2]

Dari beberapa karya-karya di atas dapat dijelaskan bahwa karya ini belum ada yang membahasnya secara detail mengenai pemikiran Jean Paul Sartre tentang yang dikaitkan dengan pencegahan bullying. Dengan demikian, penelitian ini penting untuk dikaji dan dikembangkan lebih lanjut.

Bullying dan eksistensialisme yang ditawarkan oleh sartre memberikan gambaran bagaimana cara menghadapi orang lain yang melakukan bully? Sartre, pada masa kecilnya pernah mengalami bullying dalam lingkungan keluarganya—ayah tirinya—karena wajahnya yang jelek dan tidak pandai dalam pelajaran sains.

Dari pengalaman Sartre tersebut, bagaimana ia dapat melewati masa kecilnya tersebut dan pada akhirnya mendapatkan dirinya yang sejati. Hingga pada saat dewasa ia dapat menjalin cinta kepada setiap orang dengan rekannya Simon de Beauvoir. Namun, langkah-langkah yang diambil dalam pencegahan bullying tidak sama seperti yang dilakukan Sartre yang menganggap orang lain sebagai neraka (the other is hell). Melainkan, pemikiran yang disesuaikan dengan tetap memperhatikan orang lain sebagai sesuatu yang memiliki hak untuk eksis.

METHODOLOGY

Metode dalam penelitian ini menggunakan kualitatif deskriptif dengan corak penelitian murni  (pure research). Pengumpulan data menggunakan studi pustaka terhadap karya Sartre dan karya yang berhubungan dengan penelitian. Sumber penelitian berasal dari sumber primer karya Jean Paul Sartre, Being and Nothingness dan sumber-sumber sekunder dari jurnal, buku, ataupun internet. Fokus penelitian akan melihat sejauh mana eksistensialisme berperan dalam menangani bullying.

RESULT

Sartre dan Pemikiran-pemikirannya

Jean Paul Sartre (1905-1980) adalah salah satu pemikir paling berpengaruh pada abad ke-20. Selain dijuluki sebagai “Bapak Filsafat Eksistensialis”, ia juga merupakan seorang kritikus politik, moralis, novelis dan penulis biografi dan cerita pendek. Dia lahir di Paris pada 21 juni 1905, dari pasangan Anne Marrie Sartre dan Jean Baptiste. Namun, ayahnya meninggal saat ia masih kecil dan menghabiskan waktu bersama kakeknya.

Semasa kecil, Sartre menghabiskan waktunya dengan merenung dan membaca di perpustakaan kakeknya, Charles yang mengajarkannya membaca serta menulis. Di usianya yang ke-10 tahun, ibunya mendaftarkannya ke Lycee Henry IV di Paris, namun saat usianya 12 tahun ibunya menikah kembali dan ia merasakan sebuah pengkhiatan hingga akhirnya ia pindah bermukim di La Rochelle. Barulah setelah beberapa tahun ia kembali ke Paris dan bersekolah di Lycee Ie Grand.

Pemikirannya tentang filsafat dapat dilihat dari karya-karyanya seperti L’etre et le neant. Eksistensialisme secara etimologi berasal dari kata eksistensi yang berasal dari Bahasa latin yakni eksistere. Ex artinya keluar dan sitere artinya tampil atau muncul. Secara terminology ialah aliran yang memandang segala gejala dengan berpangkal kepada eksistensi, atau tentang adanya sesuatu. Keberadaan manusia berbeda dengan keberadaan benda-benda. Manusia sadar akan keberadaanya sedangkan benda-benda tidak sadar akan keberadaanya, filsafat eksistensialisme menegaskan bahwa untuk benda-benda disebut “berada”, sedangkan manusia disebut “bereksistensi”[3]

Eksistensialisme muncul karena reaksi kritis terhadap pandangan materealisme dan idealisme. Pelopor eksistensialisme adalah Soren Kikergaard, yang lahir di Denmark pada 5 mei 1813 dan meninggal pada 11 November 1855. Namun karya-karya Kiekergaard tidak seterkenal milik Jean Paul Sarte, dan Jean Paul Sarte lah yang memperkenalkan eksistensialisme ini, Jean Paul Sarte juma merupakan filsuf eksistensialisme terbesar.

Eksistensialisme Sarte berangkat dari fenomenologi Edmund Husserl. Sarte sendiri telah mengakui besarnya pengaruh fenomenologi Husserl terhadap pemikiran filsafatnya. Fenomenologi Husserl merupakan “metode” atau “teknik” dalam filsafat eksistensialisme Jean Paul Sarte. Lebih jauh, Sarte menyebutkan beberapa arti penting fenomenologi Husserl, Pertama, perlunya menempatkan kesadaran sebagai dasar penyelidikan kesadaran. Kedua, pentingnya filsafat untuk kembali pada realitasnya.[4]

Fenomenologi sendiri artinya sesuatu yang Nampak, apa yang menampakkan diri dalam dirinya sendiri, atau penampakan sebagaimana adanya sesuatu yang benar-benar jelas dihadapan kita. Contohnya: kita melihat kursi, kursi itu sendiri memancarkan gejala-gejala bahwa dia itu kursi, bukan benda yang lain.

Namun walaupun Sarte sangat menghormati Edmun Husserl ini, tetapi terdapat suatu teori Husserl yang ditentang Sarte yakni teori tentang “aku murni” atau “fenoenologi transdental”, fenomenologi transdental sendiri artinya pemaknaan secara bebas oleh subjek kepada objek. Hal ini ditentang oleh sarte karena mirip dengan konsep “idealism”. Sebagai bentuk respons dan penolakanya, sarte mencetuskan “fenomenologi realistic” yang menurutnya buka transdental, melainkan eksistensial. Subjeklah yang berperan dalam pemaknaan dunia. [5]

Konsep Husserl “aku murni” ini juga mirip dengan konsep Descartes “cogito ergo sum”, aku berfikir maka aku ada,  hal ini ditentang oleh sarte, menurut Descartes, seseorang berfikir maka seseorang itu ada, namun bagi Sarte, kita harus eksis harus ada trelebih dahulu baru kita dapat memikirkan sesuatu.

Terdapat dalil yang sangat fenomenal dari Sarte yakni “eksistensi mendahului esensi” yaitu segala hal baru dapat dimaknai ketika ia “ada” terlebih dahulu atau “eksis”. Seperti contohnya saya memikirkan buku, dan itu baru sampai tahap pemikiran bahwa buku tersebut ada. Lain halnya jika suatu hari saya benar-benar menemukan suatu yang disebut dengan buku, baru dapat diartikan bahwa buku benar-benar ada.

Dalam ranah filsafat esensi merupakan hakikat. Esensi merupakan inti pemikiran yang bersifat dan hanya dapat ditemui di alam idea. Sebagai contoh, surga dan neraka, kita tidak tahu keberadaanya, tetapi kita memiliki pemikiran mengenai keduanya. Hal tersebutlah yang dinamakan esensi. Lebih jauh esensi didefinisikan sebagai ide mengenai suatu hal, sifat dasar, fungsi atau program atas sesuatu.[6] Dalam hal ini dapat dirumuskan segala sesuatu yang bereksistensi pasti beresensi, namun segala sesuatu  yang beresensi belum tentu bereksistensi.[7] Jadi dapat disimpulkan bahwa Sarte menganggap berada itu tidak dapat difikirkan, berada hanya dapat dialami.

            Adapun pokok pemikiran Ontologi Fenomenologisnya sebagai faktisitas yaitu, Pertama, Etre en soi yang berarti ada pada dirinya. Etre en soi menjadi satu pada dirinya sendiri. Ia ada begitu saya, tanpa dasar, dan tanpa adanya intervensi oleh pihak lain dan tak dapat diasalkan pada sesuatu yang lain. Misal, Buah mangga tidak mendapat tugas untuk menjadi apa yang seharusnya. Buah mangga tidak mempermasalahkan adanya. Maksudnya adalah buah mangga tidak tahu mengapa ia ada dan tidak perlu mempertanggungjawabkan keadaannya, karena ia tidak dapat menjawabnya. Benda tersebut memegang prinsip identitas “It is what it is”.[8]

Benda mati tidak memiliki kesadaran tentang dirinya karena tidak dapat berpikir. Namun walaupun etre en soi tidak memiliki kesadaran, keberadaanya sempurna, sempurna dalam bentuk wujudnya. Ia juga tidak memiliki celah untuk dikritisi, serta tidak memiliki kekosongan untuk memunculkan suatu keinginan.

Kedua, Etre Pour Soi, sebaliknya etre pour soi  ini berarti ada bagi dirinya. hal ini merujuk kepada kesadaran manusia. Manusia merupakan etre pour soi sebab ia tidak persis dengan dirinya, ada celah bagi manusia untuk bisa melampaui. Manusia mampu menyusun tujuan hidupnya, ia bisa memaknai dirinya dan pihak lain.

Kesadaran manusia terdiri dari kesadaran reflektif dan kesadaran pra reflektif. Hal ini dapat dicontohkan dengan peristiwa seperti ini, saya sedang menghitung pengeluaran saya selama satu bulan. Perhatian saya terfokus pada angka yang sedang saya hitung, bukan pada kegiatan yang saya lakukan yaitu menghitung. Kesadaran saya akan kegiatan menghitung ada disekitaran saja dan tidak fokus, sehingga disebut dengan kesadaran pra-reflektif. Lalu, datang teman saya dan menanyakan apa yang sedang saya lakukan. Saya menjawabnya sedang menghitung, maka kesadaran saya terfokus pada kegiatan menghitung. Kesadaran ini dinamakan kesadaran reflektif atau kesadaran yang disadari kembali.

Menurut sarte pada hakikatnya manusia hendak menjadi sempuna dan tidak ingin memiliki celah, namun pada satu sisi ia juga ingin memiliki kesadaran. Bisa dikatakan ia ingin menjadi etre en soi-etre pour soi. Namun kita ketahui hal tersebut hanya berlaku pada Tuhan semata.[9]

Tindakan Bullying Terhadap Peserta Didik

Bullying—dalam bahasa Indonesia Intimidasi—dapat dilakuakan oleh siapapun di sekitar kita, baik itu teman, guru, ataupun orang yang tidak kita kenal. Target utama dari pem-bully kebanyakan adalah anak-anak yang kurang percaya diri, pemalu, dan dianggap lemah. Adapun alasan mereka melakukan bully biasanya untuk mencari perhatian atau melampiaskan kekesalannya.

Ada beberapa jenis dari bullying dilihat dari perilakunya, di antaranya Teasing (ejekan), Exclusion (pengucilan), Physical (kekerasan fisik), dan Harrassment (godaan)[10]. Semua ini tidak terbatas hanya melalui tatap muka, namun juga terjadi melalui layar gawai masing-masing korban atau biasa disebut cyber bullying. Selain gawai, sekolah juga merupakan tempat yang sangat rentan terhadap perilaku bullying. 

Kasus bullying di Indonesia yang terjadi di sekolah sudah cukup banyak, salah satunya penganiayaan terhadap siswi yang terjadi di salah satu sekolah di Purworejo[11]. Tiga orang siswa yang melakukan tindak kekerasan secara fisik kepada siswi, menjadi bukti bahwa beberapa sekolah di Indonesia belum memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan pendidikan yang ramah terhadap anak. Kita memang tidak dapat memandang rata terhadap semua sekolah di Indonesia, namun hal seperti ini terus terjadi setiap tahunnya.

Banyaknya kasus bullying yang terjadi dapat dilihat dari data yang dirilis oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Menurut laporan KPAI selama empat bulan pertama tahun 2019 telah terjadi 12 kasus psikis dan bullying.[12] Data tersebut bisa jadi lebih banyak jika anak korban bullying melaporkannya ke pihak terkait. Namun, anak yang menjadi korban bullying biasanya tidak berani untuk melaporkan kepada orang lain karena takut atau diancam. Selain itu, anak yang menjadi korban ketika ditanya hanya menjawab apa yang dilakukan kepadanya hanya gurauan agar tidak memperburuk keadaan.

DISCUSSION

Karya sartre yang dapat dijadikan sumber etikanya ada dalam tiga karya, yaitu L’erte et le neant (1943), Critique de la raison dialectique (1960), Cahiers pour une morale (1983). Melalui karyanya tersebut dapat dilihat bahwa relasi antara manusia dalam pendapat Sartre mengalami peningkatan. Karya yang pertama Le’etre et le neant (Being and Nothingness) menandakan hubungan antar manusia yang diawali dengan konflik.

“Sarana yang penting dalam konflik atau situasi konflik ini adalah tatapan atau sorot mata (le regard). Tatapan mata di sini dipahami secara luas. Artinya, tatapan itu juga mencakup suara langkah yang mendekat lalu berhenti, bunyi yang terdengar dari semak belukar, dari kain jendela yang terbuka sedikit, dan sebagainya.”[13]

Perkembangan baru dalam pemikirannya dapat dilihat dala karya selajutnya, yaitu Critique de la raison dialectique (1960). Hubungan atau relasi antar manusia setelah mengalami konflik menuju kepada arah timbal balik atau resiprok. Relasi ini memungkinkan manusia untuk berhubungan satu sama lain.

Pada karya selanjutnya Cahiers pour une morale (1983) mengalami peningkatan dalam relasi antar manusia. Jika dilihat dalam sisi kronologisnya mulai dari konflik, relasi timbal balik, dan pada akhirnya menuju cinta yang otentik. Karyanya yang terkhir ini sebenarnya akan diterbitkan oleh Sartre pada tahun 1947-1948. Namun buku tersebut baru terbit setelah tiga tahun kematiannya dan diterbitkan oleh anak angkatnya.

Dari ketiga karyanya dapat dilihat mengenai dinamika pemikiran dari Jean Paul Sartre. Dalam tahap awal mungkin sartre menganggap orang lain dianggap seperti neraka “the other is a hell” sehingga menjadi konflik. Lalu meningkat lagi dengan menjadi relasi timbal balik. Pada tahap akhirnya, manusia akan menuju hubungan yang otentik.

Sikap dari seorang anak sangat ditentukan oleh lingkungannya, baik dalam keluarga ataupun sekolah. Lingkungan yang baik akan membentuk karakter yang baik bagi anak, begitu juga sebaliknya. Sehingga, orang yang melakukan bully dapat dikatakan sebagai anak yang memiliki masalah dalam sikapnya dikarenakan kurangnya empati dan kasih sayang kepada yang lain.

Bagi anak atau perseta didik yang menjadi target bullying harus  membangun kepercayaan diri (self-esteem) dan berperilaku baik serta menghilangkan sikap lemah (powerless).[14] Anak yang tidak memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan pertahanan diri yang baik akan sulit untuk menghentikan bullying yang terjadi padanya. Terlebih lagi, anak yang introvert akan lebih susah menghindari bullying karena lebih suka menyimpan perasaannya dan menghindari keramaian.

Terkadang, ada anak yang menganggap bahwa dirinya layak untuk di-bully karena tidak memiliki kelebihan dan menganggap dirinya tidak berguna.[15] Jika seperti ini, anak harus diberi pemahaman agar tidak menyalahkan diri sendiri dan mencoba memperbaiki diri (self improvement) dengan bergaul bersama teman-teman yang memiliki pemikiran positif. Hal demikian dapat memberikan pemahaman bahwa setiap waktu, sesuatu yang buruk dapat menimpa orang yang baik. Sehingga, anak dapat memahami bahwa hidup memang tidak selamanya sesuai yang diharapkan.

Ada tiga kebiasaan buruk yang harus dilakukan oleh peserta didik agar membuat pem-bully berhenti. Pertama, jangan takut untuk merasakan sakit. Maksudnya adalah, mereka diajarkan untuk berlatih bela diri atau gym untuk membentuk otot.[16] Dengan berlatih bela diri atau membentuk otot bukan dimaksudkan dengan menyerang pem-bully. Tujuannya adalah untuk membentuk kepercayaan diri ketika ia menjadi bulanan teman-teman sekolahnya. Selain itu, berlatih bela diri memberikan kemampuan kepada korban untuk menghindari kekerasan secara fisik. Karena, pem-bully cenderung takut untuk mengganggu anak yang pandai berbela diri.

 Kedua, jangan tunjukkan ketakutan, kemarahan, atau tidak melakukan sesuatu. Anak yang melakukan bullying ingin korbannya marah, menangis, dan tidak melakukan apapun. Jika anak yang di-bully mengalami hal seperti itu, maka ia akan merasa senang karena telah berhasil mem-bully. Mengungkapkan ekspresi seperti itu hanya akan membuat pem-bully mejadi semakin memiliki kekuatan untuk terus mem-bully anak tersebut. Jadi, jangan biarkan mereka senang karena telah berhasil mem-bully.[17] Pergi ke tempat yang ramai merupakan salah satu pilihan terbaik jika anak tersebut belum bisa menghadapi bullying.

Ketiga, jangan fokus terhadap diri sendiri.[18] beberapa anak lebih suka untuk bermain sendiri dibandingkan dengan yang lain. Mereka lupa untuk menunjukkan ketertarikan, kepedulian, dan empati di lingkungan kelasnya. Sebagai peserta didik, ia telah menciptakan masalah ketika  menolak untuk berteman dengan siswa lainnya yang berusaha ramah kepadanya. Mereka akan membalasnya dengan mengejek atau mengucilkan anak tersebut. Maka, ia harus menyesuaikan sikapnya dengan lingkungannya dan tidak menutup diri.

Peran yang penting selanjutnya adalah orang tua, yang menjadi role model bagi anak. Orang tua memiliki dampak yang besar terhadap penanganan bullying karena mereka lebih banyak menghabiskan waktu bersama dan mengetahui sikap anak. Maksud orang tua di sini bukanlah orang tua kandung, tapi yang merawat dan menghidupi mereka. Sebab, tidak semua orang tua kandung dapat menghabiskan banyak waktu bersama anak karena tuntutan kerja atau sudah meninggal. Sehingga, mereka menitipkan anaknya ke pembantu atau kakek dan neneknnya.

Terlepas dari itu, semua orang tua menjadi tempat bersandar bagi anak yang mereka rawat. Ketika anak mereka di-bully atau bahkan sebagai pelaku bullying, orang tua segera turun tangan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Orang tua harus memahami apakah anaknya merupakan korban bullying atau ia sebagai pelaku? Hal ini dapat dilakukan dengan menanyakannya kepada teman sekolah atau kepada wali kelasnya. Selain itu, luangkan waktu bersama keluarga untuk berbincang-bincang santai untuk mendiskusikan masalah yang sedang dihadapi oleh anak.

Anak yang menjadi korban bullying ketika mengungkapkan kekesalannya, terkadang ia mem-bully saudaranya atau orang tuanya.[19] Ajarkan kepada mereka bahwa tidak boleh melakukan sesuatu yang tidak ia suka kepada orang lain jika ia sendiri tidak suka terjadi padanya. Untuk mencegah hal itu, orang tua dapat melakukan pendekatan secara langsung agar tidak mimbulkan sesuatu yang lebih buruk.

Pada saat pendekatan langsung, orang tua dapat menanyakan kepada anak seperti “Apakah ada yang menyakitimu?”, “Apa yang mereka lakukan kepadamu?”.[20] Orang tua diharapkan melihat ekspresi anak atau bagaimana bahasa tubuhnya, apakah mereka menyembunyikan sesuatu atau tidak. Selain itu, orang tua dapat memberikan catatan pertanyaan seputar bullying. Pertanyaan ini penting untuk mengetahui perkembangan anak dan mendapatkan ceritanya tentang kehidupan sehari-harinya. Catatan pertanyaan ini dibuat oleh Evelyn M. Field dan diberi nama “Whodunnit Exercise”. [21]

Setelah orang tua, pihak yang dilibatkan dalam menangani bullying adalah sekolah. Sekolah merupakan tempat pembentukan karakter siswa, sehingga harus memberikan suasana yang nyaman saat belajar. Saat di sekolah, guru memegang kendali ketika kelas berjalan atau saat berada dalam lingkungan sekolah. Dalam mengatasi bullying perlu dibuat peraturan khusus tentang kebijakan anti-bullying dengan memberikan hukuman bagi yang melanggar.

Agar proses belajar di sekolah dapat berjalan lancar, maka sekolah perlu melakukan investigasi terhadap perilaku bullying, baik yang jelas atau yang masih samar.[22] Pihak sekolah juga harus memastikan siapa yang akan dilibatkan terhadap masalah yang terjadi, seperti orang tua, siswa lain, atau pihak yang berwenang. Selain itu, sekolah dapat menanggulangiya dengan melakukan pengembangan public relation.

Pengembangan dalam bidang public relation dapat dilakukan dengan penyebaran pamflet, koran, gelang persahabatan, dan yang lainnya. Sekolah juga dapat mengadakan seminar tentang bahayanya bullying.[23] Penanganan bullying di lingkungan sekolah harus dilakukan secara intensif agar dapat mengurangi bahkan menghilangkan tindak kekerasan di kalangan pelajar.

CONCLUSION

Eksistensialisme Sartre tidak hanya sebuah pemkiran, tetapi juga dapat ditransformasikan dalam bentuk tindakan. Melalui karya-karya beliau, dapat dipahami pola eksistensi dan relasi antara manusia sebagai makhluk yang bereksistensi. Hubungan eksistensi dengan pencegahan bullying cukup menarik dibahas karena Sartre pernah mengalami bullying pada masa kecilnya. Namun, ia dapat mengatasi itu semua dan menjadi manusia yang otentik. Pada tahap awalnya memang Sartre menganggap semua orang sebagai sesuatu yang buruk dengan menyebut “the other is hell”. Akan tetapi, setelah berselang lama ia menyadari bahwa ketika manusia hidup tidak dapat terlepas dari penilaian orang lain. artinya, eksistensi kita dibatasi oleh eksistensi orang lain dan harus berdamai dengan keadaan tersebut sehingga terjadi harmoni. Begitupula dengan pencegahan bullying, seseorang baik pem-bully maupun korban harus saling mengerti keadaan satu sama lain agar terbentuk relasi. hal tersebut dapat diajarkan dan dilatih kepada peserta didi seperti menumbuhkan kepercayaan diri (self-esteem) dengan tidak terlalu memperdulikan penilaian orang lain.

 

REFERENCES

Farasonalia, Riska. “Duduk Perkara Siswi SMP Purworejo Dipukuli Kakak Kelas, Berawal dari Dimintai Uang Rp. 2.000”, dalam https://regional.kompas.com, diakses tanggal 21 Februari.

Field, Evelyn M. 2007. Bully Blocking: Six Secrets to Help Children Deal With Teasing and Bullying, London: Jessica Kingsley.

Hadiwijono, Harun. 1985. Sari Sejarah Filsafat 2. Yogyakarta: Kanisius.

Kamaluddin, Undang Ahmad dan Juhaya S. Pradija, 2012. Filsafat Manusia,  Bandung: Pustaka Setia.

Lanur, Alex. 2015. “ Relasi Antar-Manusia Menurut Jean-Paul Sartre” dalam Setyo Wibowo, Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre, Yogyakarta: Kanisius.

Maradewa, Rega. “Catatan KPAI di Hardiknas: Kasus Anak Bully Guru Meningkat”, dalam https://kpai.go.id  diakses tanggal 21 Februari 2020.

Yusafina, Dianna Mella. 2015. Eksistensialisme Jean Paul Sartre dan Relevansinya dengan Moral Manusia, dalam Skripsi UIN Walisongo Semarang.

 

 



[1][1] Dianna Mella Yusafina, Eksistensialisme Jean Paul Sartre dan Relevansinya dengan Moral Manusia, dalam Skripsi UIN Walisongo Semarang, hlm. 15. Dalam penelitian ini, penulis menghubungkan antara eksistensialisme Sartre dengan moral dan ayat-ayat Al-Qur’an.

[2] Setyo Wibowo, Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre, Yogyakarta: Kanisius, 2015, hlm. 5

[3] Diana Mella Yusfa, Eksistensialisme Jean Paul Sarte dan relevansinya dengan moral manusia, skripsi,  UIN Walisongo Semarang, 2015, hlm. 23.

[4] Undang Ahmad Kamaluddin, dan Juhaya S. Pradija, Filsafat Manusia, (Bandung, Pustaka Setia, 2012), hlm. 87.

[5] Undang Ahmad Kamaluddin, dan Juhaya S. Pradija, Filsafat Manusia, , hlm. 89.

[6] Undang Ahmad Kamaluddin dan Juhaya S. Pradija, Filsafat Manusia,  hlm. 93.

[7]Louis O katsoff, Pengantar FIlsafat, hlm. 51

[8] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1985), hlm. 35

[9] Undang Ahmad Kamaluddin, dan Juhaya S. Pradija, Filsafat Manusia, hlm. 97-98.

[10] Evelyn M. Field, Bully Blocking: Six Secrets to Help Children Deal With Teasing and Bullying, (London: Jessica Kingsley, 2007), hlm. 17-21.

[11] Riska Farasonalia, “Duduk Perkara Siswi SMP Purworejo Dipukuli Kakak Kelas, Berawal dari Dimintai Uang Rp. 2.000”, dalam https://regional.kompas.com, diakses tanggal 21 Februari.

[12] Rega Maradewa, “Catatan KPAI di Hardiknas: Kasus Anak Bully Guru Meningkat”, dalam https://kpai.go.id  diakses tanggal 21 Februari 2020.

[13] Alex Lanur, “ Relasi Antar-Manusia Menurut Jean-Paul Sartre” dalam Setyo Wibowo, Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre, Yogyakarta: Kanisius, 2015, hlm.74

[14] Evelyn M. Field, Bully Blocking, (London: Jessica Kingsley, 2007), hlm. 59.

[15] Evelyn M. Field, Bully Blocking, (London: Jessica Kingsley, 2007), hlm. 59

[16] Evelyn M. Field, Bully Blocking, (London: Jessica Kingsley, 2007), hlm. 65

[17] Evelyn M. Field, Bully Blocking, (London: Jessica Kingsley, 2007), hlm. 66.

[18] Evelyn M. Field, Bully Blocking, (London: Jessica Kingsley, 2007), hlm. 66.

[19] Evelyn M. Field, Bully Blocking, (London: Jessica Kingsley, 2007), hlm. 79.

[20] Evelyn M. Field, Bully Blocking, (London: Jessica Kingsley, 2007), hlm. 80.

[21] Evelyn M. Field, Bully Blocking,  (London: Jessica Kingsley, 2007), hlm. 81-83.

[22] Evelyn M. Field, Bully Blocking , (London: Jessica Kingsley, 2007), hlm. 112.

[23] Evelyn M. Field, Bully Blocking: Six , (London: Jessica Kingsley, 2007), hlm. 113.

 

gambar: https://images.app.goo.gl/itqb3pW6LFuxUMjt6

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SAAT AKU MENGENALMU

Kapanpun aku mengingatmu Aku tidak bisa memutuskan apapun, Tuhanku Tidak ada yang mampu menghapus air mataku selain-Mu, Tuhanku Engkaulah yang bernama Al-Bâqi. Engkaulah yang selalu diucapkan oleh lisan  Siapapun yang menyentuh cintamu Maka tidak akan menghiraukan dirinya lagi ,Tuhanku Yunus sang pencinta menginginkanmu Tolong tunjukkan Jamali Ilâhi-Mu Karna pecinta manapun yang melihat Jamali Ilâhi-Mu Dia tidak akan mati selamanya, Tuhanku

Be your self

Anytime we feel sad or unsatisfied with our effort cause have no progress. When see other people have been success with their business, we just doing nothing. after that, we imitate to someone who we are wonder. we have lost our confidence with our self and imitate a style from our idols. if we do that, we can't develop our potential to be actualized. so, from now... change your mindset to become better then before. it's have been 2019th.. the new year.. make a change and improve our self. no matter about someone look us, you have do the best something. the change is not depend on our mood condition, but as fast as we can. be your self and don't scare to become distinct with other people, cause it is unique.. so good job and show to other people that we have spirit to change. #Resolution_in_2019 #Changesmaker #Be_Your_Self

Apa perbedaan dan persamaan antara Santri, Abangan, dan Priyayi beserta contohnya

  Persamaan    Santri, Abangan, dan Priyayi adalah mereka sama-sama beragama Islam dan menyembah kepada Allah swt dan melaksanakan ibadah yang mereka yakini.   Perbedaan: Abangan Tradisi islam abangan masih sangat kental dengan kepercayaan terhadap animisme dan dinamisme. Upacara-upacara keagamaan masih sering dilakukan dalam lingkungan masyarakatnya. Mereka tahu kapan harus slametan, upacara kematian, upacara kandungan, bahkan mengetahui makana apa yang harus di persiapkan dalam pelaksanaa upaca keagamaan. [1]