Langsung ke konten utama

Sejarah Pemikiran Tasawuf dan Masuknya Pemikiran Tasawuf ke Nusantara

 

A.    Pendahuluan

Perkembangan tasawuf menyebar di kalangan masyarakat muslim sejak abad ke-2 H. Pada abad sebelumnya sebenarnya sudah muncul para tokoh asketis yang hidup pada zaman Rasulullah. Hanya saja, penyebutan tasawuf atau sufi baru dikenal pada abad ke-2 hijriah. Sejak abad tersebut muncul tokoh-tokoh besar tasawuf seperti Hasan al-Bashri dan Rabi’ah al-Adawiyah. Umat muslim banyak yang tertarik untuk memperlajari tasawuf untuk hidup sederhana dan lebih mementingkan ukhrawi.

Setelah berabad-abad, ajaran tasawuf menyebar ke berbagai penjuru dunia bersamaan dengan menyebarnya Islam. Namun, yang jadi permasalahan adalah dikotomi antara tasawuf yang bercorak sunni dan falsafi. Pertentangan selalu terjadi antara dua kelompok ini hingga memvonis sesat dan menghukum mati. Misalnya saja terjadi pada al-Hallaj sebagai seorang sufi falsafi yang dihukum mati karena ajarannya seperti hulul. Peristiwa seperti ini juga terjadi pada tokoh sufi lainnya seperti, Suhrawardi al-Maqtul. Tasawuf sunni menganggap bahwa dirinya yang paling benar dan sesui dengan pedoman.[1] Kadang ada imam sufi yang dibanggakan seperti Abu Yazid al-Busthami, sedangkan imam sufi lainnya di salahkan seperti Ibn ‘Arabi.[2]

 

B.     Sejarah Pemikiran Tasawuf

Tasawuf adalah salah satu cabang dalam disiplin ilmu keislaman yang pernah berkembang pesat teruatama pada abad ke 13. Tasawuf yang oleh Peter Avery dikatakan bertujuan memperteguh kembali jiwa masyarakat muslim di zamannya yang mulai rapuh, takkala pembantaaian dan penjarahan besar-besar yang dilakukan oleh bangsa Mongol kemudian menyebar-luaskan rasa pesimis dan membuat orang islam kehilangan rasa percaya diri pada kekuatan terpendam yang dimilikinya dan agama yang dianutnya. Namun sayang, melalui perjalanan waktu yang panjang dan perholakan khilafah yang melelahkan intisari tasawuf kian tersembunyi. Demikian juga tujuantujuan positif dari tasawuf kian lama kian dilupakan sehingga yang sampai kepada kita—sebagian melalui jasa orientalis—adalah pengertian yang salah.[3] Tasawuf pun pernah dianggap sebagai penyebab mundurnya umat Islam yang pernah mencapai kejayaan pada masa awal hingga menjelang pertengahan.

Istilah tasawuf dimasa Nabi SAW tidak ada, demikian pula dimasa para sahabat Nabi SAW dan tabi’in belum ada istilah itu.[4] Dalam masalah ini belum ada seorang pun pengkaji masalah tasawuf yang sampai dalam batasan ilmiah untuk mengetahui tokoh sufi pertama dalam Islam dan siapa yang meletakkan batu pertama bagi pemikiran tasawuf ini.[5]

Tasawuf merupakan sebuah konsep yang tumbuh sebelum Nabi Muhammad SAW lahir, baik dalam segi wacana, perilaku, maupun akidah. Tasawuf terjadi pada setiap umat dan agama-agama, khususnya Brahmana Hinduisme, filsafat Iluminasi Yunani, Majusi Persia, dan Nashrani Awal. Lalu pemikiran itu menyelinap ke dalam pemikiran Islam melalui zindik Majusi. Kemudian menemukan jalannya dalam realitas umat Islam dan berkembang hingga mencapai tujuan akhirnya, disusun kitab-kitab referensinya, dan telah diletakkan dasar-dasar dan kaidah-kaidahnya pada abad ke-empat dan kelima Hijriyah.[6]

Tasawuf sebagai sebuah ilmu pengetahuan baru muncul setelah masa sahabat dan tabi’in. Nabi SAW dan para sahabat pada hakikatnya sudah sufi. Mereka mempraktekkan selalu terhadap hal-hal yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga tidak meremehkannya.[7]

Pada masa Rasulullah SAW Islam tidak mengenal aliran tasawuf, demikian juga pada masa sahabat dan tabi’in. Kemudian datang setelah masa tabi’in suatu kaum yang mengaku zuhud yang berpakaian shuf (pakaian dari buku domba), maka karena pakaian inilah mereka mendapat julukan sebagai nama bagi mereka yaitu sufi dengan nama tarekatnya tasawuf. Ilmu Tasawuf datang belakangan sebagaimana ilmu yang lain.

Di masa awalnya, embrio tasawuf ada dalam bentuk perilaku tertentu.[8] Ketika kekuasaan Islam makin meluas dan terjadi perubahan sejarah yang fenomenal pasca Nabi dan sahabat, ketika itu pula kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan, mulailah orang-orang lalai pada sisi ruhani. Budaya hedonisme pun menjadi fenomena umum. Saat itulah timbul gerakan tasawuf sekitar abad ke-2 Hijriyah. Gerakan yang bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup. Menurut pengarang Kasyf Al Dzunnun, orang yang pertama kali diberi julukan Al-Sufi adalah Abu Hasyim Al-Sufi (Wafat. 150 H).[9]

Dalam sejarahnya, bahwa dakwah Nabi di Makkah tidaklah semulus yang diharapkan. Kemudian Nabi melakukan tahannus di guwa Hiro sebelum turunnya wahyu pertama. Kegiatan ini dalam rangka menenangkan jiwa, menyucikan diri. Dalam proses ini Rasulullah melakukan riyadhah dengan bekal makanan secukupnya, pakaian sederhana yang jauh dari kemewahan dunia. Dengan demikian setelah menjalani proses-proses tersebut jiwa Rasulullah SAW telah mencapai tingkatan spiritual tertentu sehingga benar-benar siap menerima wahyu melalui Malaikat Jibril.[10] Dengan memperhatikan praktek-praktek Nabi SAW di atas menunjukkan Islam merupakan agama yang memiliki akar tradisi spiritual yang tinggi.

Pada prinsipnya perkembangan tasawuf itu ada tiga tahapan, pertama periode pembentukan dengan menonjolkan gerakan-gerakan zuhud sebagai fenomena sosial. Periode ini berlangsung selama abad pertama dan kedua hijriyah yang dipelopori oleh para sahabat, tabi’in, dan tabi’i tabi’in. Pada masa ini fenomena yang terjadi adalah semangat untuk beribadah dengan prinsip-prinsip yang telah diajarkan oleh Nabi SAW, untuk kemudian mereka  mencoba menjalani hidup zuhud. Tokoh-tokoh sufi pada periode ini adalah Hasan Bashri (110 H.) dengan konsep khouf dan Rabi’ah Al-Adawiyah (185 H.) dengan konsep cinta (Al-Hubb).[11]

Kedua, memasuki abad ketiga dan ke-empat hijriyah tasawuf kembali menjalani babak baru. Pada abad ini tema-tema yang diangkat para sufi lebih mendalam. Berawal dari perbincangan seputar akhlak dan budi pekerti, mereka mulai ramai membahas tentang hakikat Tuhan, esensi manusia serta hubungan antar keduanya. Dalam hal ini kemudian muncul tema-tema seperti ma’rifat, fana’, dzauk, dan lain sebagainya. Para tokoh pada masa ini diantaranya Imam Al-Qusyairi, Suhrawardi Al-Baghdadi, Al-Hallaj, dan Imam Ghazali.

Ketiga, abad ke-enam dan ketujuh tasawuf kembali menemukan suatu bentuk pengalaman baru. Persentuhan tasawuf dengan filsafat berhasil mencetak tasawuf  menjadi lebih filosofis yang kemudian dikenal dengan istilah teosofi. Dari sinilah kemudian muncul dua varian tasawuf, Sunni dengan coraknya amali dan Falsafi dengan corak iluminatifnya. Adapun tokoh-tokoh teosofi abad ini adalah Surahwardi Al-Maqtul (549H.), Ibnu ’Arabi (638 H.), dan Ibnu Faridh (632 H.)[12]

Jika dilacak secara cermat maka praktek-praktek zuhud yang berkembang di dua abad pertama tersebut adalah hal yang lumrah dan dapat ditemukan pembenarnya.[13] Dalam pandanga Islam, zuhud bukanlah upaya untuk memusuhi dunia materi dan harta. Zuhud dalam Islam tidak seperti istilah kependetaan dalam Yahudi dan Nasrani. Zuhud bukanlah’uzlah yang dalam artian menjauh dari hiruk pikuk bumi dan berada dalam kesendirian serta tidak menghiraukan kehidupan sosial.[14]

Tasawuf yang kemudian melembaga sebagai tarekat juga pernah dihubungkan dengan khurafat, pedukunan, klenik atau pemujaan tokoh tarekat yang masihhidupataupun yang sudah meninggal. Padahal semua itu tidak memiliki pertautan dengan tasawuf yang sejati. Tokoh-tokoh tasawuf seperti al-Hallaj, al-Ghazali, al Qusyairi, Ibn al-Araby, Ibn Sina, Omar Khayyam, Attar, Rumi, Jami’, Mulla Sa’di, Suhrawardi, Hamzah Fansuri, dan lain-lain adalah tokoh-tokoh yang berpengaruh besar dalam perkembangan tasawuf, bahkan Islam di Afrika, Turki, anak benua India, kepulauan Indonesia, Timur tengah, Asia Barat, Asia tengah dan Andalusia bahkan diseluruh negeri-negeri muslim lainnya.

Indonesia sebagai salah satu negara yang berpenduduk muslim terbanyak di Asia Tenggara dan bagain dari Nusantara memiliki keterkaitan sejarah dengan tasawuf, salah satu teori menyatakan bahwa motif masuknya Islam di Nusantara ialah perkembangan tasawuf sendiri yang mulai hidup kembali hingga merambah hingga ke wilayah ini setelah kejatuhan Baghdad.

 

C.    Masuknya Tasawuf ke Nusantara

Dalam sejarah Islam tasawuf mengacu pada prilaku Rasulullah Muhammad Saw. dan sahabat-sahabatnya. Apabila merujuk dalam al-Qur'an terdapat beberapa ayat yang dijadikan dasar untuk menjalani hidup sebagai sufi, antara lain bahwa Allah itu dekat dengan manusia (Q.S. Al-Baqarah/2: 86)  dan Allah lebih dekat kepada manusia dibandingkan urat nadi manusia itu sendiri  (Q.S. Qaf/50: 16)[15]

Dalam masa pertumbuhannya muncul bermacam-macam konsep ajaran tasawuf yang disampaikan oleh para sufi, yaitu al-khauf dan al-raja' yang diperkenalkan oleh Al-Hasan al-Basri  (642-728 M), mahabbah oleh Rabi'ah al-Adawiyah (714-801 M.), hulul oleh Al-Hallaj, al ittihad oleh Yazid al-Bustami (814-875 M.) dan ma'rifah oleh Abu Hamid al-Gazali (w. 1111 M.). Pada abad ke 5 H/13 M kegiatan para sufi kemudian mulai melembaga hingga memunculkan tarekat. Hal ini ditandai dengan nama pendiri atau tokoh-tokoh sufi yang lahir pada abad itu yang selalu dikaitkan dengan silsilahnya. Setiap tarekat mempunyai syekh, kaifiyat zikir dan upacara-upacara ritual masing-masing. Biasanya syekh atau mursyid mengajar murid-muridnya di asrama ltempat latihan rohani yang dinamakan suluk atau ribath.[16]

Pada awalnya muncul tarekat Qadiriyah yang dikembangkan oleh Syekh Abdul Qadir di Asia Tengah, Tibristan tempat kelahirannya, kemudian berkembang ke Baghdad, Irak, Turki, Arab Saudi sampai ke Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, India, Tiongkok. Muncul pula tarekat Rifa’iyah di Maroko dan Aljazair. Disusul tarekat Suhrawardiyah di Afrika Utara, Afrika Tengah, Sudan dan Nigeria. Tarekat-tarekat itu kemudian berkembang dengan cepat melalui kurid-murid yang diangkat menjadi khalifah, mengajarkan dan menyebarkan ke negeri-negeri Islam, hingga bercabang dan beranting dalam jumlah yang banyak.[17]

Dalam perkembangannya tarekat-tarekat yang muncul memiliki peranan yang besar dalam kehidupan umat Islam tidak hanya dalam bidang agama tetapi juga dalam bidang lain. Sesudah kekhalifaan Baghdad runtuh tugas mempertahankan persatuan umat Islam dan penyebaran agama terutama banyak dipegang oleh para sufi. Ketika daulah  Usmaniyah berdiri, peranan tarekat (Bahtesyi) saangat besar baik dalam bidang politik maupun militer. Demikian juga di Afrika Utara, tarekat Sanusiyah memiliki peranan yang besar terutama di negeri Aljazair dan Tunisia, sedangkan di Sudan tarekat Syadziliyah berperan besar dalam penyebaran Islam.[18]

Teori Hill menyebutkan bahwa dalam Hikayat Raja-Raja Pasai yang disusun pada abad ke 14 mengatakan Islam yang datang di Nusantara beraliran tasawuf. Data ini di dukung oleh Sejarah Melayu yang sumbernya juga dari Hikayat Raja-raja Pasai. Teori Bech menyatakan dalam teks Sejarah Melayu dijelaskan tentang kesenangan Sultan malaka kepada ilmu tasawuf di mana pada suatu waktu seorang ulama, yaitu Maulana Abu Iskak datang memberi hadiah kepada sultan berupa kitab yang berjudul Durrul Mandhum (mutiara yang tersusun). Sultan berkali-kali mengutus utusan yang agar menemui Sultan Aceh untuk berkonsultasi tentang ilmu tasawuf. Teori Raffles menyebutkan peristiwa terakhir dalam Sejarah Melayu adalah penyerangan Sultan Malaka yang kemudian lari ke Johor. Dari segi waktu kejadian Sejarah Melayu yang ditulis pada tahun 1536 dan baru dapat dibaca pada abad ke 16 sebagai bukti bahwa teks ini sebelumnya masih berupa cerita lisan. Sehingga dapat disimpulkan ilmu tasawuf telah diberkembang dan ditulis menjadi sebuah naskah pada abad ke 16. Teori Johns berpendapat naskah-naskah abad ke 16 yang diteliti oleh para orientalis bercorak tasawuf sehingga dapat menjadi obyek bagi kajian sejarah intelektual Islam dan perkembangan ilmu tasawuf di Indonesia.[19]

Dari teori-teori yang menyebutkan peranan para sufi dalam penyiaran Islam di Indonesia tersebut menurut Azyumardi Azra berhasil membuat korelasi antara peristiwa-peristiwa politik dan gelombang-gelombang konversi kepada Islam. Meski peristiwa-peristiwa politik –dalam hal ini kekhalifaan Abbasiyah- merefleksikan hanya secara tidak langsung pertumbuhan massal masyarakat muslim, orang tak dapat mengabaikan peranan para sufi ini, karena semua itu mempengaruhi perjalanan masyarakat muslim di bagian-bagian lain dari bunia Islam. Teori ini juga berhasil membuat korelasi penting antara konversi dengan pembentukan dan perkembangan institusi-institusi Islam yang menurut Bulliet, akhirnya membentuk dan menciptakan ciri khas masyarakat tertentu sehingga benar-benar dapat dikatakan sebagai masyarakat muslim. Institusi-institusi yang terpenting itu ialah madrasah, tarekat sufi, futuwwah (persatuan pemuda), dan kelompok-kelompok dagang dan kerajinan tangan. Semua insitusi ini menjadi penting berperanan hanya pada abad ke 11.[20]

Para sufi pertama yang mengajarkan tasawuf dan tarekat di Indonesia ialah Hamzah Fansuri (w. 1590), Syamsuddin as-Samatrani (w. 1630), Nuruddin ar-Raniri (w. 1658), Abd. Rauf as-Singkeli (1615-1693) dan Syekh Yusuf al-Makassar (1626-1699). Sufi-sufi tersebut merupakan tokoh-tokoh yang memiliki konstribusi yang besar dalam penyiaran dan perkembangan Islam di Indonesia. Disamping mereka terdapat para ulama yang juga menyiarkan Islam dengan menggunakan metode yang akomodatif dalam dakwahnya  seperti wali songo yang menyebarkan Islam di tanah Jawa, Rajo Bagindo ke Kalimantan Utara dan Kepulauan Sulu, Syekh Ahmad ke Negeri Sembilan dan lain-lain.


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdullah, Hawash.  1930. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, Surabaya: al-Ikhlas.

Azra, Azyumardi. 2002. Jaringan Ulama Timur Tengahdan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. Bandung: Mizan.

Bahreis, Husein. Tasawuf Murni, Surabaya: Al-Ihsan.

Hakim, Atang Abd. dan Jaih Mubarok. 2006. Metodologi Studi Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Khaldun, Ibnu.  Muqaddimah Ibn Khaldun, terj. Ahmadi Toha, Jakarta: Pustaka Firdaus.

Khalik, Syekh Abdur Rahman Abdul. 2001. Penyimpangan-penyimpangan Tasawuf, terj., Jakarta: Rabbani Press.

Mulyati, Sri. 2004. Mengenal dan Memahami Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Kencana.

Nasution, Harun. 1992. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.

Ni’am, Syamsun. 2017. “Hamzah Fansuri: Pelopor Tasawuf Wujudiyah dan Pengaruhnya Hingga Kini di Nusantara”,  Episteme, Vol.12, No. 1, Juni

Sangidu, Wachdatul Wujud, Polemik Pemikiran Sufistik antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Samatrani dengan Nuruddin ar-Raniri.

Suryadilaga, M. Alfatih. 2008. Miftahus Sufi, Yogyakarta: Teras.



[1] Syamsun Ni’am, “Hamzah Fansuri: Pelopor Tasawuf Wujudiyah dan Pengaruhnya Hingga Kini di Nusantara”,  Episteme, Vol.12, No. 1, Juni 2017, hlm.263.

[2] Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara (Surabaya: al-Ikhlas, 1930), hlm. 34.

[3] Redaksi, “Tasawuf, Mutiara yang Mulai di Ingat lagi,” Ulumul Qur’an 1, (1989),  hlm. 92.

[4] Husein Bahreis, Tasawuf Murni, (Surabaya: Al-Ihsan, tt.), hlm. 1.

[5] Syekh Abdur Rahman Abdul Khalik, Penyimpangan-penyimpangan Tasawuf, terj., (Jakarta: Rabbani Press, 2001), cet. I., h. 37

[6] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), cet. VIII, hlm. 59.

[7] M. Alfatih Suryadilaga, Miftahus Sufi,  (Yogyakarta: Teras, 2008), cet. I, hlm. 23.

[8] Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, terj. Ahmadi Toha (Jakarta: Pustaka Firdaus), hlm. 623.

[9] M. Alfatih Suryadilaga, Miftahus Sufi,  hlm. 23-24.

[10] M. Alfatih Suryadilaga, Miftahus Sufi,  hlm. 24-25.

[11] M. Alfatih Suryadilaga, Miftahus Sufi,  hlm. 28-29.

[12] Ibid, hlm. 30.

[13]Ibid, hlm. 31.

[14] Ibid..

[15] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam  ( Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 162.

[16] Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Muktabarah di Indonesia ( Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 6.

[17] Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Muktabarah, hlm. 7.

[18] Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Muktabarah, hlm. 7.

[19] Sangidu, Wachdatul Wujud, Polemik Pemikiran Sufistik antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Samatrani dengan Nuruddin ar-Raniri., hlm. 24-25.

[20] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengahdan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII., hlm. 16.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SAAT AKU MENGENALMU

Kapanpun aku mengingatmu Aku tidak bisa memutuskan apapun, Tuhanku Tidak ada yang mampu menghapus air mataku selain-Mu, Tuhanku Engkaulah yang bernama Al-Bâqi. Engkaulah yang selalu diucapkan oleh lisan  Siapapun yang menyentuh cintamu Maka tidak akan menghiraukan dirinya lagi ,Tuhanku Yunus sang pencinta menginginkanmu Tolong tunjukkan Jamali Ilâhi-Mu Karna pecinta manapun yang melihat Jamali Ilâhi-Mu Dia tidak akan mati selamanya, Tuhanku

Be your self

Anytime we feel sad or unsatisfied with our effort cause have no progress. When see other people have been success with their business, we just doing nothing. after that, we imitate to someone who we are wonder. we have lost our confidence with our self and imitate a style from our idols. if we do that, we can't develop our potential to be actualized. so, from now... change your mindset to become better then before. it's have been 2019th.. the new year.. make a change and improve our self. no matter about someone look us, you have do the best something. the change is not depend on our mood condition, but as fast as we can. be your self and don't scare to become distinct with other people, cause it is unique.. so good job and show to other people that we have spirit to change. #Resolution_in_2019 #Changesmaker #Be_Your_Self

Apa perbedaan dan persamaan antara Santri, Abangan, dan Priyayi beserta contohnya

  Persamaan    Santri, Abangan, dan Priyayi adalah mereka sama-sama beragama Islam dan menyembah kepada Allah swt dan melaksanakan ibadah yang mereka yakini.   Perbedaan: Abangan Tradisi islam abangan masih sangat kental dengan kepercayaan terhadap animisme dan dinamisme. Upacara-upacara keagamaan masih sering dilakukan dalam lingkungan masyarakatnya. Mereka tahu kapan harus slametan, upacara kematian, upacara kandungan, bahkan mengetahui makana apa yang harus di persiapkan dalam pelaksanaa upaca keagamaan. [1]